Beasiswa Bazma Pertamina
Makassar,
7 Juni 1997, bersamaan disaat azan subuh berkumandang terdengar rintihan tangis
seorang bayi yang seolah-olah tidak mau keluar dari rahim ibunya yang dihiasi
kasih dan sayang. Lahir seorang anak laki-laki pertama sekaligus cucu pertama
dari keluarga kecil yang kelak diberi nama Nur Ilham Arifuddin. Memang betul
nama terakhir itu merupakan nama dari ayah saya, disematkan didalam nama saya
agar saya mampu menjaga nama baik keluarga kapanpun dan dimanapun saya berada. Menurut
kepercayaan suku Bugis-Makassar, anak yang
lahir disaat matahari mulai terbit akan membawa keberkahan, amin Yaa Rabbal
Alamin. Sebagai anak dan cucu pertama,
tentunya memiliki tanggung jawab tersendiri bagi diri saya, yaitu harus
menjadi kebanggaan bagi keluarga, dan menjadi contoh yang baik bagi adik-adik
saya. Sejak kecil tanggung jawab sebagai anak pertama itu telah ditanamkan pada
diri saya. Sebuah nasehat yang selalu diucap oleh ayah saya menggunakan bahasa
Makassar yang artinya,”Nak disaat kamu baru lahir didunia ini, bapak langsung
berkata bahwa anak saya laki-laki, dan laki-laki yang sebenarnya adalah yang
tidak pernah lengah dalam segala hal, dan tidak mengenal kata mundur.” Nasehat itulah
yang selalu menjadi motivasi bagi diri saya.
Sesuai perkataan orang bijak, ibu
adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Memang betul, sebelum masuk TK
(Taman Kanak-kanak), saya telah mampu membaca dan menulis, ini adalah hasil kerja
keras dari guru pertama saya, yaitu ibu. Jadi, setahun saya di TK Anaprasa
Makassar, lalu saya lanjut di SD Inpres Layang Tua Satu, salah satu sekolah
dasar unggulan di kota Makassar. Ada beberapa prestasi yang saya torehkan
diwaktu SD, diantaranya Juara 1 puisi tingkat Kota, dan Juara 3 SKJ. Setelah
tamat SD, orang tua memutuskan untuk memasukkan saya disalah satu pesantren
yang ada di Makassar, PP. An-Nahdlah Ujung Pandang namanya. Keputusan ini
diambil karena kebetulah ayah dan ibu saya sangat peduli tentang agama. Ayah
saya seorang imam disebuah masjid dan ibu saya seorang guru mengaji yang
muridnya sekitar 50 orang lebih.
Orang tua saya berpendapat bahwa pesantren adalah ladang ilmu
terbaik untuk anak-anaknya. Dan memang betul, disaat saya masih kelas 2
Aliyah/SMA, saya telah mengabdikan diri disebuah desa terpencil yang ada di
Sulawesi-Selatan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama selama sebulan penuh. Saya
juga pernah menjadi guru pembantu di beberapa Sekolah Dasar yang ada di kota
Makassar. Enam tahun di pesantren, yaitu mencakup Tsanawiyah/SMP dan Aliyah/SMA,
lalu saya mencoba mendaftar kuliah di Chairo Mesir namun gagal. Akhirnya saya
diamanahkan oleh Guru saya, yang juga merupakan pimpinan di pesantren tempat
saya menuntut ilmu untuk melanjutkan pendidikan di Institute PTIQ Jakarta.
Adapun yang sedang saya geluti sekarang ialah menjadi pembantu imam
di masjid dekat tempat tinggal saya, masjid Al-Mukhlishin UMJ. Selain itu, nama
saya juga terdaftar disalah satu ikatan muballigh dikota Makassar. Berbicara mengenai
kontribusi yang akan saya berikan untuk bangsa Indonesia, ialah saya sangat mencita-citakan
ingin membangun sebuah Yayasan yang mengurusi saudara-saudara kita yang kurang
mampu, susah mendapat pekerjaan, dan anak-anak yatim untuk mendapatkan
bimbingan sesuai keahlian dan hobinya masing-masing sehingga mudah mendapat
pekerjaan. Keinginan saya ini tidak lepas dari meningkatnya tingkat
pengangguran di Indonesia. Dengan adanya Yayasan kemanusiaan ini, saya berharap
bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Inilah saya bagi
keluarga, dan kontribusi yang telah, sedang dan akan saya berikan untuk
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar