Sabab an-Nuzul Surah Al-Baqarah ayat 142-144
MAKALAH SABAB NUZUL AL-QUR’AN
SURAH AL-BAQARAH
AYAT 142-144
Dosen Pembimbing
HIDAYATULLAH, MA
Disusun
oleh :
Nur Ilham Arifuddin
FAKULTAS USHULUDDIN
ILMU QUR’AN DAN HADITS
INSTITUTE PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
(IPTIQ) JAKARTA
2017
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah mukjizat bagi umat islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk
disampaikan kepada umat manusia. Al-Qur’an sendiri dalam proses penurunannya
mengalami banyak proses yang mana dalam penurunannya itu berangsur-angsur dan
bermacam-macam nabi menerimanya. Kita mengenal turunnya Al-Qur’an sebagai
tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap bulan 17 Ramadhan kita mengenal yang
namanya Nuzulul Qur’an yaitu hari turunnya Al-Qur’an.
Mengetahui
latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, akan menimbulkan perspektif dan
menambah khazanah perbendaharaan pengetahuan baru. Dengan mengetahui hal
tersebut kita akan lebih memahami arti dan makna ayat-ayat itu dan akan
menghilangkan keraguan-keraguan dalam menafsirkannya. Dalam penurunan Al-Qur’an
terjadi di dua kota yaitu Madinah dan Mekkah. Surat yang turun di Mekkah
disebut dengan Makkiyah sedangkan surat yang turun di Madinah disebut dengan
surat Madaniyah.
PEMBAHASAN
A. Surah Al-Baqarah Ayat 142-143
Didalam sebuah riwayat dikatakan,
Ibnu Ishak berkata: Ketika arah kiblat dipindahkan dari Syam ke Ka’bah yang
terjadi pada bulan Rajab genap tujuh puluh bulan sesudah Rasulullah tiba di
Madinah, maka Rifa’ah bin Qais, Fardam bin Amr, Ka’ab bin Al-Asyraf, Ar-Rabi’
bin Ar-Rabi’’ bin Abu Al-Huqaiq, dan Kinanah bin Ar-Rabi’ bin Abu Al-Huqaiq
datang menemui Rasulullah lalu berkata: “Wahai Muhammad, mengapa engkau beralih
dari kiblatmu yang semula, padahal engkau menyatakan bahwa dirimu sebagai
penganut agama Ibrahim? Kembalilah kepada kiblatmu yang pertama, niscaya kami
mengikuti dan membenarkanmu.” Ucapan tersebut memiliki maksud untuk
mengeluarkan Rasulullah dari agamanya. Kemudian Allah menurunkan firaman-Nya[1]:
*
ãAqà)uy
âä!$ygxÿ¡9$#
z`ÏB
Ĩ$¨Z9$#
$tB
öNßg9©9ur
`tã
ãNÍkÉJn=ö6Ï%
ÓÉL©9$#
(#qçR%x.
$ygøn=tæ
4 @è%
°!
ä-Îô³pRùQ$#
Ü>ÌøóyJø9$#ur
4 Ïöku
`tB
âä!$t±o
4n<Î)
:ÞºuÅÀ
5OÉ)tGó¡B
ÇÊÍËÈ y7Ï9ºxx.ur
öNä3»oYù=yèy_
Zp¨Bé&
$VÜyur
(#qçRqà6tGÏj9
uä!#ypkà
n?tã
Ĩ$¨Y9$#
tbqä3tur
ãAqߧ9$#
öNä3øn=tæ
#YÎgx©
3 $tBur
$oYù=yèy_
s's#ö7É)ø9$#
ÓÉL©9$#
|MZä.
!$pkön=tæ
wÎ)
zNn=÷èuZÏ9
`tB
ßìÎ6®Kt
tAqߧ9$#
`£JÏB
Ü=Î=s)Zt
4n?tã
Ïmøt7É)tã
4 bÎ)ur
ôMtR%x.
¸ouÎ7s3s9
wÎ)
n?tã
tûïÏ%©!$#
yyd
ª!$#
3 $tBur
tb%x.
ª!$#
yìÅÒãÏ9
öNä3oY»yJÎ)
4 cÎ)
©!$#
Ĩ$¨Y9$$Î/
Ô$râäts9
ÒÇÊÍÌÈOÏm§
ôs% 3ttR |==s)s? y7Îgô_ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èus9 çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷èt ÇÊÍÍÈ
142. “orang-orang yang kurang akalnya[2]
diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat
Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".[3]
143. dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[4]
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat)
itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.
144. “Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.
dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan”.[5]
B. Makna dan Penjelasan Kosa Kata
a. Ayat 142
Lemah akal : ä!$ygxÿ¡9$#
Kata diatas berasal dari kata السفه yang
berarti الخفّة , الرقّة yaitu lemah atau kurang dan tipis
dalam berpikir. Hal tersebut nampak dari perkataan orang-orang Yahudi yang
mengejek dan menghina Rasulullah tanpa mau mencari tahu penyebab peralihan
kiblat tersebut. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu adalah
orang yang bingung, atau tidak istiqomah dalam menentukan arah kiblatnya,
terkadang ia menghadap ke Mekah, kadang menghadap Baitul Maqdis. Dan ada juga
yang mengatakan bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad adalah agama yang
seenaknya mengubah atau mengganti arah kiblatnya sesuai keinginannya. Akan
tetapi, semua yang terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW. tidak terlepas dari
tradisi Nabi dan Rasul terdahulu yang pasti akan mendapatkan celaan dan hinaan
dari golongan orang-rang yang bodoh. K.H. Quraish Shibab menyatakan bahwa al-Sufaha’
adalah orang-orang yang lemah akalnya atau yang melakukan aktivitas tanpa
sadar, baik karena tidak tahu, atau enggan tahu, atau tahu tapi melakukan yang
sebaliknya.
Para ulama berbeda pendapat
tentang siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang kurang akalnya tersebut:
1. Syekh Jalaluddin As-Suyuthi mengatakan bahwa yang dimaksud orang-orang yang kurang akalnya ialah orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin.[6]
2.
K.H. Quraish Shihab berpendapat bahwa, orang yang dimaksud ialah orang-orang
yang oleh kehendak hawa nafsunya dari upaya berfikir dan merenung (penganut
agama Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik).[7]
3.
Didalam Tafsir Syekh Sufyan Ats-Tsauri juga dikatakan yang dimaksud pada ayat
tersebut ialah orang Yahudi.
4.
Imam Ath-Thobari didalam kitabnya yang Jam’ul Bayan fii Ta’wil Al-Qur’an,
mengatakan bahwa yang dimaksud sebagai orang yang lemah akal pada ayat tersebut
ialah orang munafik.
Kiblat : Jn=ö6Ï%
Kalimat al-Qiblat berasal dari
kata al-muqabalah yang artinya menghadapkan wajah. Awalnya adalah bertujuan
untuk mempersatukan Arab dengan menentuan suatu titik dijazirah Arab namun
kemudian di jadikan sebagai arah yang digunakan umat manusia dalam shalat untuk
menyembah Allah Swt. Dengan terjadinya peristiwa ini mendapatkan komentar
miring dari orang-orang Yahudi, tadinya umat Islam mengarah ke Mekah, kemudian
ke Bait al-Maqdis, atau tadinya mengarah ke Bait al-Maqdis sekarang ke Mekah
lagi. Kalau mengarah ke Bait al-Maqdis atas perintah Allah, mengapa sekarang
Allah memerintahkan mereka mengarah ke Ka’bah? Tentu ada kekeliruan, atau Nabi
Muhammad Saw dan umat Islam hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Tentu ibadah
mereka dulu ketika menghadap ke Bait al-Maqdis, sudah batal dan tidak ada
ganjarannya lagi. Kepada Nabi Muhammad diperingatkan bahwa kata-kata dari
orang-orang bodoh itu tidak perlu diacuhkan. Yang akan diberi penerangan
bukanlah orang-orang yang bodoh itu atau lemah fikiran, melainkan orang yang
dapat berpikir, sebab itu Allah bersabda dalam lanjutan ayat tersebut,
قُلِ الِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
“Katakanlah, Kepunyaan Allah lah timur dan Barat”.
Artinya bahwasanya disisi Tuhan,
baik barat ataupun timur, baik utara maupun selatan sama saja, segala penjuru
dunia ini milik Allah Swt. Jika di waktu yang lalu orang berkiblat ke Bait
al-Maqdis dan kemudian dialihkan ke Ka’bah, bukan berarti bahwa Allah bertempat
di Ka’bah atau telah berpindah kesana. Soal peralihan tempat bukanlah soal
penempatan Tuhan di salah satu tempat:
يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
“Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus”.
Ayat ini memberi penjelasan bahwa
soal beralih atau tetapnya kiblat, bukan berarti karena tempat itu yang kita
sembah. Timur dan barat, utara dan selatan dan segala penjuru manapun adalah
kepunyaan Allah Swt. Diantara Bait al-Maqdis dengan Bait al-Haram di Mekah
tidak ada perbedaan disisi Allah. Keduanya sama-sama terdiri dari batu dan
kapur yang diambil dari bumi Allah. Tujuan yang paling utama adalah tujuan
hati, yaitu memohonkan petunjuk jalan yang lurus kepada Allah. Sehingga Allah
bersedia memberikan petunjukNya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dengan
keterangan ini dijelaskan inti persoalan yang mengacaukan pikiran, karena
kekacauan berpikirnya orang-orang yang lemah. Tegasnya, meskipun tetap
menghadap Bait al-Maqdis atau telah beralih ke Ka’bah, namun kalau hati tidak
jujur ataupun kalau langkah yang ditempuh di dalam hidup adalah langkah curang,
beralih atau tidak beralihnya kiblat tidak akan membawa perubahan bagi jiwa.
Dengan demikian, ayat ini memberitahukan kepada Nabi Muhammad SAW
dan umat Islam, bahwa ada sekelompok golongan yang menyembunyikan kebenaran
karena kebodohannya dan mereka mengganti sesuatu yang bermanfaat bagi mereka
kepada sesuatu yang membahayakan. Mereka mengingkari perpindahan kiblat dari
al-Quds (Bait al-Maqdis), tempat mereka berkiblat saat itu, ke Masjid al-Haram. Orang-orang lemah akal yang
dipalingkan oleh kehendak hawa nafsu dari upaya berpikir dan merenung (dari
kalangan pengikut agama Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik) niscaya akan
mengingkari beralihnya kiblat orang-orang beriman dari Bayt al-Maqdis--sebagai
kiblat paling benar dalam anggapan mereka ke arah kiblat yang baru yaitu
Ka'bah. Oleh karena itu katakan pada mereka, wahai Nabi, "Sesungguhnya
seluruh arah mata angin itu adalah milik Allah. Tidak ada nilai keutamaan yang
melebihkan antara satu arah atas arah yang lain. Allah yang menentukan arah
mana yang akan dijadikan kiblat untuk salat. Dengan kehendak-Nya, Dia memberi
petunjuk kepada suatu umat menuju jalan yang lurus. Syariat Muhammad yang
diturunkan bertugas menggantikan risalah para nabi sebelumnya telah menetapkan
kiblat yang benar, yaitu Ka'bah.{Sejarah mencatat bahwa perpindahan kiblat dari
Bayt al-Maqdis ke Ka'bah terjadi kurang lebih tujuh belas bulan semenjak
kedatangan Rasulullah di Madinah}.[8]
Berpaling : ولاّهم
ولاّهم يعنى صرافهم, و هو إستفهام على جهة الإستهزاء والتعجب
Yang artinya menghindar atau berpaling, yaitu menggerakkan wajahnya untuk berpaling dari kiblat mereka.
b.
Ayat 144
Sungguh Sering :
ôttRs%
قَدْ menurut Imam al-Suyuthiللتحقيق untuk mempertegas, sedangkan
menurut Imam al-Zamakhsari bermakna ربما yaitu للتكثير untuk memperbanyak. Artinya
adalah banyak atau seringnya melihat. Dan dapat dilihat dalam ayat ini terjadi الماضى, pada masa lampau. Nabi
Muhammad Saw, berulang kali menengadah ke langit, dan langit merupakan sumber
wahyu dan arah dalam berdo’a. Dan فى bermakna إلى.
فلنولينك
قِبْلَةً تَرْضَاهَا
“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai”, hal ini menunjukkan bahwa kalimat sebelumnya dihilangkan, artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, meminta arah kiblat yang bukan sedang kamu jalankan sekarang”.
فولّ
وجهك
Memalingkan wajah, menjadikan sebagai kiblat dan pedoman arah. Yang dimaksud dengan wajah adalah seluruh badan. Misalkan, menghadapkan wajah dalam shalat ke arah Ka’bah, berarti menghadapkan seluruh anggota badan ke arah Ka’bah.
شطر
المسجد الحرام
Perlu
kita perhatikan, bahwa yang disebutkan pada ayat 144 ini yaitu arah Masjidil
Haram, jadi bukan Ka’bah secara fisik atau zohirnya. Sebab, jika kita
betul-betul harus tepat menghadap ke Ka’bah itu suatu kesulitan yang sangat
besar bagi yang berada jauh dari Ka’bah. Jadi, untuk memudahkan kita yang ada
di Indonesia atau yang berada jauh dari Masjidil Haram sebagai kiblat bagi umat
muslim maka cukup menghadapkan seluruh anggota tubuh kita ke arah Mekah.
الذين
أوتوا الكتاب
Didalam ayat ini juga disebutkan
kalimat “Orang-orang yang diberi Al-Kitab”.
Yang
dimaksud ayat ini adalah orang-orang Yahudi, hal ini dikatakan oleh Muqatil.
Sedangkan Abu Sulaiman al-Dimasyqi menyatakan yang dimaksud ayat ini adalah
orang-oarang Yahudi dan Nasrani.
ليعلمون
أنه الحق
Dari penggalan ayat diatas mengisyaratkan
bahwa perintah dalam memindahkan arah kiblat ke Ka’bah sudah diketahui oleh
orang-orang Yahudi dan Nasrani, kemudian mereka menolak atau mengingkarinya
sebagimana berita-berita yang mereka dustakan sebelumnya padahal mereka
mengetahui bahwa hal itu benar.
Ada empat pendapat ulama yang mengatakan dariamana mereka tahu bahwa hal tersebut benar:
1) Abu al-Aliyah mengatakan bahwa dalam kitab-kitab merka telah disebutkan tentang perpindahan kiblat ini.
2) Mereka mengetahui bahwa al-Masjid al-Haram adalah kiblatnya Nabi Ibrahim as.
3) Dalam kitab mereka telah dinyatakan bahwa Muhammad adalah rasul yang benar, dan tidak akan memerintah kecuali hal yang benar
.
4) Mereka mengetahui kebenaran atau bolehnya nasakh dalam al-Qur’an.
4) Mereka mengetahui kebenaran atau bolehnya nasakh dalam al-Qur’an.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa ayat 144 ini lebih dahulu diturunkan daripada
ayat 142.pendapat lain dari al-Zamakhsyari menyatakan bahwa ayat ini diturunkan akhir atau
setelah ayat سَيَقُوْلُ السُّفَهَآء, karena ayat ini menjadi
berita yang ghaib sebelum menjadi sebuah kenyataan. Kemudian terjadilah
turunnya perintah itu untuk menerima Ka’bah sebagai kiblat. Sebagai Mu’jizat
bagi Nabi Muhammad Saw, dan untuk menenangkan hati dari pertentangan
musuh-musuh Islam, serta mempersiapkan Nabi. Ayat ini termasuk dari kalimat
yang jawabnya terletak lebih dahulu.[9]
Melalui ayat 144 ini Allah
menyampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, bahwa Dia mengetahui keinginan, isi
hati, atau doa beliau agar kiblat segera dialihkan ke Mekah, baik sebelum
adanya informasi maupun setelahnya, “maka guna memenuhi keinginanmu, serta mengabulkan
do’amu sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini
Palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram”. Demikian Allah mengabulkan
keinginan dan permohonan Nabi Muhammad Saw.
Sementara kaum sufi
menggarisbawahi bahwa ayat ini memerintahkan mengalihkan wajah, bukan hati dan
pikiran, karena hati dan pikiran hendaklah mengarah kepada Allah Swt. Hati dan
isinya adalah sesuatu yang ghaib, maka sesuai dengan sifatnya itu, iapun harus
mengarah kepada Yang Maha Ghaib, sedang wajah adalah sesuatu yang nyata, maka
iapun diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya nyata, yaitu bangunan berbentuk
kubus yang berada di Masjid al-Haram.
Selanjutnya,
setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad Saw telah dikabulkan, maka perintah
kali ini tidak lagi hanya ditujukan kepada beliau sendiri sebagaimana bunyi
redaksi penggalan ayat yang lalu, tetapi ditujukan kepada semua manusia tanpa
terkecuali, sebagaimana dipahami dari redaksi berikut yang berbentuk jamak “Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya”.
Ayat
ini turun ketika Nabi berada di satu rumah di Madinah, yang kini dikenal dengan
mesjid Bani Salamah, sehingga dimana saja kamu berada walaupun tidak di tempat
turunnya ayat ini atau bukan pada waktu itu. Itu minimal yang dapat dipahami
dari perintah ini, sebenarnya lebih luas daripada itu. “Sesungguhnya telah
kami lihat muka engkau menengadah ke langit.” Artinya, bahwasanya Kami (Allah)
telah memperhatikan bahwa engkau selalu menengadah ke langit mengharap-harap,
semoga Allah mengizinkan engkau mengalihkan kiblat ke Ka’bah. Menurut riwayat
Ibnu Majah dari al-Bara’, setiap akan shalat beliau menghadapkan wajah ke
langit, yang diketahui Allah bahwa beliau sangat rindu kiblat dialihkan ke
Ka’bah. Setiap malaikat Jibril turun dari langit atau naik kembali ke langit
selalu diikuti Rasulullah dengan pandangannya, menunggu bilakah akan datang
perintah Tuhan tentang peralihan kiblat itu, sampai turun ayat ini:
“Sesungguhnya telah Kami lihat muka engkau menengadah ke langit, sampai akhir
ayat: “maka Kami palingkan engkau kepada kiblat yang engkau inginkan”.
Dengan
perintah pada ayat ini maka mulai saat itu beralihlah kiblat dari Bait
al-Maqdis (rumah suci) di Palestina, yang didirikan oleh Nabi Sulaiman, kepada
Masjid al-Haram yang didirikan oleh Nabi Ibrahim, nenek moyang Nabi Sulaiman
dan Nabi Muhammad Saw yang berdiri di Mekah.
C. Asbabun Nuzul
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا
بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي ، ثنا أَبُو
الْحُسَيْنِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ الطَّرَائِفِيُّ ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ صَالِحٍ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ
صَالِحٍ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَلْحَةَ ، قَالَ : قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ :
" إِنَّ أَوَّلَ مَا نُسِخَ مِنَ الْقُرْآنِ الْقِبْلَةُ ،
وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَاجَرَ
إِلَى الْمَدِينَةِ وَكَانَ أَكْثَرُ أَهْلِهَا الْيَهُودَ ، أَمَرَهُ اللَّهُ
أَنْ يَسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ ، فَفَرِحَتِ الْيَهُودُ ، فَاسْتَقْبَلَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بَضْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ قِبْلَةَ إِبْرَاهِيمَ
عَلَيْهِ السَّلامُ ، فَكَانَ يَدْعُو اللَّهَ ، وَيَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي
السَّمَاءِ إِلَى قَوْلِهِ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ سورة البقرة آية 144 ، يَعْنِي : نَحْوَهُ ، فَارْتَابَ
مِنْ ذَلِكَ الْيَهُودُ ، وَقَالُوا : مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ
الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا سورة البقرة آية 142 ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
: وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا
فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ سورة البقرة آية 115 وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ سورة البقرة
آية 143 ، مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ سورة
البقرة آية 143 ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : وَلِيَمِيزَ أَهْلَ
الْيَقِينِ ، مِنْ أَهْلِ الشَّكِّ وَالرِّيبَةِ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
: وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى
اللَّهُ سورة البقرة آية 143 ، يَعْنِي : تَحْوِيلَهَا عَلَى أَهْلِ
الشَّكِّ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ سورة البقرة آية 45 ، يَعْنِي :
الْمُصَدِّقِينَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ
اللَّهُ فِي قَوْلِهِ : فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ سورة البقرة
آية 115 : يَعْنِي وَاللَّهُ أَعْلَمُ :
فَثَمَّ الْوَجْهُ الَّذِي وَجَّهَكُمُ اللَّهُ إِلَيْه[10]
Kemudian para ulama berbeda dalam
memahami apakah perintah menghadap ke Bait al-Maqdis ini datang melalui wahyu
dalam al-Qur’an atau atas inisiatif dan ijtihad Nabi Muhammad Saw sendiri;
1. Ibnu Abbas dan Ibn Juraij menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw menghadap ke Bait al-Maqdis melalui wahyu dari Allah Swt.
2. al-Hasan, Abu al-Aliyah, Ikrimah dan al-Rabi’ menyatakan bahwa menghadapnya Nabi ke Bait al-Maqdis merupakan ijtihad dan hasil pemikiran Nabi sendiri. dan Qatadah menyatakan bahwa umat mnusia dapat menghadap ke arah mana saja yang ia kehendaki, berdasarkan Firman Allah,ولله المشرق والمغرب kemudian Nabi memerintahkan mereka menghadap ke Bait al-Maqdis.[11]
Para ulama berbeda pendapat dalam masa atau berapa lamanya Nabi Muhammad Saw shalat menghadap ke Bait al-Maqdis ketika berada di Madinah;
a. al-Bara’ bin Azib menyatakan lamanya Nabi Muhammad Saw shalat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan.
b. Ibn Abbas menyatakan 17 bulan.
c. Mu’ad bin Jabal menyatakan 13 bulan.
d. Anas bin Malik menyatakan 19 bulan.
e. 16 bulan
f. 18 bulan, diriwayatkan oleh Qatadah.
Dari beberapa pendapat ulama tersebut yang paling masyhur dikalangan para mufassir adalah 16 atau 17 bulan.
Para
ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan waktu berpindahnya kiblat:
1) Berpindahnya kiblat terjadi pada waktu shalat duhur pada hari senin, pertengahan Rajab, tujuh belas bulan dari tinggalnya Nabi Muhammad di Madinah. Hal ini dinyatakan al-Bara’ bin Azib dan Mu’qal bin Yasar.
2) Perpindahan kiblat terjadi pada hari selasa, pertengahan bulan Sya’ban. Delapan belas bulan sejak Nabi tinggal di Madinah. Hal ini disampaikan Qatadah.
3) Pada bulan Jumadi al-akhirah, dinyatakan mufassir Ibn Salamah dari Ibrahim al-harabi.
4) Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa shalat pertama yang dilakukan ketika perintah itu turun adalah shalat ashar.
5) Dalam riwayat Malik disebutkan waktu shalat shubuh. Dari perbedaan pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh perpindahan kiblat tidak wajib mengetahui kapan terjadinya hukum tersebut, baik duhur, ashar maupun subuh. Waktu tidak mempengaruhi kewajiban umat Islam melaksanakan perintah Allah Swt.
Dengan
adanya perbedaan pendapat diatas, pemakalah mengambil pendapat yang masyhur,
yaitu waktu berpindahnya kiblat atau turunnya ayat tersebut ketika Rasulullah
sholat dzhuhur di kota Madinah tepatnya dimasjid Bani Salamah atau lebih
populer dikenal sebagai masjid Qiblatain. [12]
Dikatakan bahwa saat itu Rasulullah sedang melaksanakan sholat dzuhur lalu
turun ayat ini, maka Rasulullah melaksanakan sholat dua rakaat menghadap ke
Baitul Maqdis, dan dua rakaat terakhir menghadap ke Mekah(Ka’bah). Wallahu
A’lam.
D. Hikmah Penafsiran Ayat
1. Allah Swt mengabarkan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa orang-orang yang bodoh atau kurang akalnya dari orang-orang Yahudi akan menentang perpindahan kiblat sebelum peristiwa tersebut terjadi. Hal ini menunjukkan mukjizat Nabi Muhammad Saw tentang kebenaran risalah yang beliau bawa, karena mengabarkan suatu perkara yang ghaib. Sebagaimana jawaban yang pasti, dan tidak dapat ditentang lagi oleh penentangnya.
2. Dengan demikian ayat yang dimaksud ditujukan kepada orang-orang Yahudi. Ayat ini tidak menyebutkan secara tegas nama mereka, bertujuan memberi sifat al-sufaha terhadap orang-orang Yahudi di sini, atau boleh jadi untuk memasukkan semua orang yang tidak menerima Ka’bah sebagai kiblat, atau yang mencemooh Ka’bah dan mencemooh umat Islam yng mengarah dan thawaf disana.
3. al-Qur’an membantah tuduhan orang-orang bodoh dari Yahudi, kaum musyrik dan munafik dalam firman Allah Swt:
قال الله تعالى قُلِ الِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ، يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
Yang menegaskan bahwa segala arah
hanyalah milik Allah Swt, tidak diutamakan arah yang satu dengan yang lainnya,
dan tidak berhak salah satu arah tersebut menyebut dirinya kiblat kecuali Allah
Swt lah yang mengkhususkannya sebagai kiblat. Maka bukanlah sebuah penentangan
untuk berganti-ganti kiblat dari arah satu ke arah yang lainnya. Karena
Ibrahnya adalah menghadap kepada Allah Swt dengan hati dan mengikuti segala
perintahNya.
4. Menghadap ke kiblat bertujuan mengarahkan umat Islam ke satu arah yang sama dan jelas. Namun demikian Dia berwenang menetapkan apa yang dikehendakiNya menjadi arah bagi manusia untuk menghadap kepada-Nya. Dia mengetahui hikmah dan rahasia di balik penetapan itu, lalu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus. PetunjukNya untuk umat Islam adalah mengarah ke Ka’bah.
Perlu
digaris bawahi, Allah tidak menjelaskan mengapa Dia mengalihkan arah kiblat tersebut
sehingga pada akhirnya arah yang harus dituju dalam shalat adalah Ka’bah.
Adapun pendapat-pendapat dari para ulama’ belum tentu benar. Boleh jadi
pengalihan kiblat pertama kali dari Mekah ke Bait al-Maqdis, karena ketika Nabi
berhijrah, Ka’bah masih dipenuhi berhala dan kaum musyrik Arab mengagungkan
Ka’bah bersama berhala-berhala yang mereka tempatkan disana. Disisi lain, tidak
disebutkannya sebab pengalihan itu dalam jawaban yang diperintahkan Allah ini,
untuk memberi isyarat bahwa perintah-perintah Allah khususnya yang berkaitan
dengan ibadah mahdhah (murni) tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan manusia
tentang sebabnya. Ia harus dipercaya dan di amalkan. Walaupun pasti ada sebab
atau hikmah dibalik itu. Setiap muslim diperintah untuk melaksanakannya, namun
ia tidak dilarang untuk bertanya atau berpikir guna menemukan jawabannya.
E. Hikmah ayat
1. Para Mufassir menyatakan bahwa ayat ini, adanya peringatan secara lembut atas kesantunan perilaku Nabi Muhammad Saw, ketika menunggu datangnya wahyu, dan tidak langsung bertanya kepada Tuhannya. Dan Allah telah memuliakan adab perilaku Nabi ini dengan mengabulkan do’a beliau melalui perpindahan kiblat ke Masjid al-Haram.
2. Ketika mengibaratkan Masjid al-Haram di Ka’bah adalah sebuah petunjuk yang tersirat bahwa adanya suatu kewajiban untuk menjaga arahnya, bukan fisiknya. Sehingga seseorang yang berada jauh dari Ka’bah, dapat melakukan ibadah shalat dengan benar, menghadap ke arah kiblat darimana saja mereka berada.
3. Khitab yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, di maksudkan kepada umat Islam, bukan ke kiblat nya, dan menolak keraguan bahwa kiblat itu kiblat penduduk madinah saja, karena perintah untuk berpindah ada di dalamnya, kemungkinan diantara mereka bahwa kiblat adalah Bait al-Maqdis masih ada.
4. Ayat ini walaupun tertulis setelah ayat ‘sayaqulu al-sufaha’ namun lebih dahulu dalam makna. Ayat ini merupakan inti pokok kisah perpindahan kiblat.
5. Perintah kiblat merupakan ayat nasakh pertama kali dalam perkara syari’at.
6. Segala penjuru arah mata angin adalah milik Allah Swt, baik utara, selatan, timur dan barat. Allah memerintahkan shalat menghadap kiblat ke Ka’bah, terkecuali bagi mereka yang sedang berada dalam kendaraan, sedang berperang, maka shalat dapat dilakukan ke segala arah berdasarkan ijtihad masing-masing.
F. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Nabi Muhammad Saw beserta sahabat ketika di Mekah shalat menghadap ke Ka’bah, kemudian ketika hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan shalat menghadap Bait al-Maqdis. Selama 16 atau 17 bulan, beliau diperintahkan menghadap ke Ka’bah kembali.
2. Tidak ada perbedaan diantara ulama bahwasanya Ka’bah merupakan kiblat dari segala penjuru dunia. Yang dimaksud bukanlah fisik dari Ka’bah tersebut tetapi arah ke Ka’bah menjadi kiblat bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah shalat kepada Allah Swt
.
3. Ayat ini juga yang menjadi dalil Imam Malik dan pengikutnya, bahwasanya orang yang shalat hukumnya menghadap ke depan (ke arah Ka’bah) dan bukan ke bawah (tempat sujud).
3. Ayat ini juga yang menjadi dalil Imam Malik dan pengikutnya, bahwasanya orang yang shalat hukumnya menghadap ke depan (ke arah Ka’bah) dan bukan ke bawah (tempat sujud).
4. Ayat-ayat ini menjadi bukti yang jelas adanya nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an. Dan ayat nasakh yang pertama dalam syari’at Allah Swt adalah ayat ini, tentang perpindahan kiblat.
5. Ayat ini membuktikan bahwa al-Qur’an diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan sampai ayat al-Qur’an tersebut sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Hisyam Ibnu, Sirah Nabawiyah. Hal 344
Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain. Hal. 20
illsionst.blogspot, sabab-nuzul-surat-al-baqarah-ayat-142-144.html
Al-Bayhaqy, Sunan Kubro Lil-Bayhaqy, Hal. 2048, Islam Web
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan
keserasian Al-Qur-an. Jakarta: Lentera Hati
[1]) Ibnu Hisyam,
Sirah Nabawiyah. Hal 344
[2]) Maksudnya:
ialah orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud
pemindahan kiblat. Didalam Tafsir al-Mishbah dikatakan orang yang kurang akalnya ialah orang yang
mengetahui kebenaran akan tetapi mereka berpaling dari kebenaran itu.
[3]) Di waktu
Nabi Muhammad s.a.w. berada di Mekah di tengah-tengah kaum musyirikin beliau
berkiblat ke Baitul Maqdis. tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di
Madinah ditengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan
untuk mengambil ka'bah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian
bahwa dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka'bah itu menjadi tujuan, tetapi menghadapkan diri kepada tuhan. untuk persatuan umat
Islam, Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat.
[4] )Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi
saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun
di akhirat.
[5]) Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w.
sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang
memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
[6]) Jalaluddin
As-Suyuthi, Tafsir Jalalain. Hal. 20
[7]) M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah. Hal 344-348
[8]) M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah. Hal 344-348
[9])
illsionst.blogspot, sabab-nuzul-surat-al-baqarah-ayat-142-144.html
[10]) Al-Bayhaqy,
Sunan Kubro Lil-Bayhaqy, Hal. 2048, Islam Web.
[11]) Ibid, Sabab
Nuzul
[12]) Letaknya di
tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di dekat Istana Raja ke jurusan
Wadi Aqiq atau di atas sebuah bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah.
Komentar
Posting Komentar