Mengenal Penafsir Nusantara "Syekh Nawawi Al-Bantani"

Biografi Syeikh Nawawi Al-Bantani
Abu Abd Al-Muti’ Muhammad Nawawi ibnu Umar Al-Tanar Al-jawi Al-Bantani atau yang sering kita dan masyarakat dengar dengan nama Syeikh Nawawi Al-Bantani/Nawawi Banten. Syeikh Nawawi dilahirkan di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1228 H. Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/29 Maret 1897 M. Syeikh Nawawi menghembuskan nafas yang terakhir kali yaitu pada saat berusia 84 tahun. Ia dimkmkan di Ma’la dekat dengan makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri nabi. Sebagai tokoh kebanggan di Jawa khususnya daerah Bantern, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap Jum’at terakhir pada bulan Syawwal selalu diadakan Haul  untuk meperingati jejak peninggalan Syeikh Nawawi Al-Bantani.
Pada tahun kelahiranya, kesultanan Banten berada dalam periode terakhir yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820). Pada tahun 1813 M, Belanda melalui gubernur Rafles memaksa Sultan Rafiuddin untuk menyerahkan kekuasaanya karena telah dianggap tidak dapat mengendalikan negara. Dengan memanfaatkan Sultan Rafiunddin yang sudah melemah kekuasaanya, Belanda secara betahap mengurangi peran Sultan dalam pemerintahaan Banten. Akhirnya pada tahun 1832, keraton secara resmi dipindahkan ke Serang dan struktur keresidenan pun dijabat seorang bupati yang yang diangkat oleh pemrintah belanda. Sejak saat itulah kerajaan Banten runtuh dan hanya tinggal sejarah.
Di tengah-tengah suasana politik Banten pada masa itu, Syeikh Nawawi pada masa anak-anaknya tinggal bersama ayahnya yang menjabat sebagaia penghulu. Suatu jabatan pemerintahan dari belanda yang bertugas untuk mengurusi masalah-masalah agama Islam di daerah Tirtayasa, suatu jabatan yang tidak disetujui oleh Syeikh Nawawi saat itu
Ayahnya bernama Syeikh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Syeikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan Yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon) yaitu keturunan putra dari Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Taj’ul Arsy). Nasabnya bersambung dengan nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As-Shodiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Syiidina Hussein, Fatimah Azzahra.
Syeikh Nawawi mempelajari ilmu-ilmu dasar melalui ayahnya, ia juga belajar pada kyai Sahal, Seorang Ulama Banten. Kemudian ia berangkat ke Purwakarta untuk belajar kepada H.Yusuf . pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkanya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan satra arab, ilmu tafsir dan terutama ilmu Fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya pada tahun 1833 dengan khazanah ilmu yang tebilang relatif cukup lengkap utnuk membantu ayahnya mengajar para santri. Syeikh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukan kecerdasanya langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatanganya membuat pesantren yang dibina oleh ayahnya membludak dengan santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun di daerahnya ia memutuskan untuk kembai berangkat ke Mekkah sesuai dengan impianya untuk menetap dan mukim di sana.
Di mekkah Syeikh Nawawi melanjutkan belajarnya kepada guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsabandiyah di Indonesia) dan Syeikh Abdul Ghani Bima, ulama Asal indonesia yang bermukim disana. Setelah itu ia belajar kepada Sayyid Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedangkan di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib Al-Hanbali. Kemdian ia melanjutkan pelajaranya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabar, Syekh Nawawi juga pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu guru utamanya pun berasal dari Mesir sperti Syeikh Yusuf Sumbulawini dan Syeikh Ahmad Narawi.  Beliau juga memiliki murid-murid yang menjadi tokoh nusantara seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Khalil Bangkalan, Madura, dan KH. Asnawi dari Caringin.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan dari Syaikh Nawawi menulis Syarh, selain permintaan dari orang lain, ia juga ingin melestarikan karya pendahuluny ayng sering kali mengalami perubahan (Tahrif) dan pengurangan. Dalam menyusun karyanya, nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainya. Sebelum naik cetak, naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka.

Karena karyanya yang tersebar luas sampai ke daerah Mesir dan Syiria dan dengan menggunakan bahasa yang yang mudah dan dapat dipahami serta isinya yang padat, nama Syeikh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Dan ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama Al-Qarn Al-Rabi’ ‘Asyar Li Al-Hijrah, Al-Imam Al-Mulaqqiq Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama Al-Hijaz. 

Karya-karya syeikh Nawawi Al-Bantani 

Di samping  mengajar, Syeikh Nawawi sehari-harinya disibukkan dengan menulis. Hasil karya-karyanya yang beragam serta meliputi hampir seluruh bidang keilmuan agama sekaligus menjadi bukti bahwa penguasaan ilmu Syeikh Nawawi Al-Bantani yang tidak patut diragukan lagi. Perihal jumlah yang dihasilkan Syeikh Nawawi, terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan jumlah karyanya sebanyak 99 buah dan ada pula yang mengatakan bahwa keseluruhan dari karyanya mencapai 115 buah.  Secara umum, menurut para peneliti, beberapa keistimewaan kara-karya Syeikh Nawawi  adalah bagaimana ia mampu menghidupkan isis karangan sehingga dapat dijiwai oleh pembaca, kemudian pemakaian bahasa yang relatif mudah dipahami, sehingga mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit, dan yang tak kalah pentingnya adalah keluesan isis karanganya.
Diceritakan pada suatu waktu beliau pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, pada saat beliau dalam perjalanan, karena tidak ada cahaya dalam Syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta yang ia diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisis kepalanya. Syeikh Nawawi kemudian berdoa dan meohon kepada Allah agar telunjuk kirinya mampu menjadi lampu menerangi jari kananya menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraaqi Al-‘Ubudiyyah Syarah Matan Bidayah Al-Hidayah  itu harus ia bayar dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberika Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang
  • Karya-karya Syeikh Nawawi di bidang ilmu Kalam dan Akhlaq:
1. Bahjat Al-Wasa’il bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail Al-Jamiah Baina Ushul Ad-din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayyid Ahmad bin Zein Al-Habsyi. Ditulis pada tahun 1292 H.
2. Fath AL-Majid, ulasan dari kitab Al-Durr Al-Farid fi Al-Tauhid. Ditulis pada tahun 1298 H
Karya-karya Syeikh Nawawi dalam bidang Fiqih:
1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah As-Shalah, karya Abdullah ibnu Umar Al-Hadrami
2. Kasifatus Saja’, syarah atas kitab syainah AN-Najah, karya Syeikh Salim ibnu Sumair Al-Hadrami
Karya-Karya Syeikh Nawawi dalam bidang bahasa dan kesusastraan:
1. Syarah Al-Jurumiyah , isinya tentanag tata bahasa Arab, terbit tahun 1881
2. Lubab Al-Bayan  yang membahas ilmu Balaghah dan merupakan ulasan atas kitab Risalat Al-Isti’arat karya Al-Husain Al-Nawawi Al-Maliki (1884)
Karya-karya Syeikh Nawawi di bidang Sejarah:
1. Targhib Al-Mustaqim. Ditulis pada tahun 1292 H, berisi ulasan atas kitab Manzumat  Al-Sayyid Al-Barzanji Zan Al-‘Abididn i Mauli, karya Sayyid Al-Awlin
2. Al-Ibriz Al-Dani yang ditulis pada tahun 1292 H. berisi tentang sejarah nabi Muhammad SAW



  • Karya Dalam Bidang Tafsir (Tafsir Munir)
Nama lengkap tasir ini adalah “At-Tafsir Al-Munir Li Ma’alimit Tanzil Al-Musfir ‘an Wujuhi Mahasin At-Ta’wil”. Al-Bantani juga menamakanya dengan Marah Labid li Kasyfi Ma’na Al-Quran Al-Majid (Keceriaan yang menggumpal untuk membongkar makna Al-quran Al-Majid). Dalam tafsir ini, ia menuliskan namanya dengan Al-“alamah al-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawy.
Dalam sejumlah kamus baik yang ditulis sebelum abad ke-19 atau kamus yang dikarang sesudahnya. Kata Marah diartikan tempat yang biasa dipergunakan oleh sutu kaum untuk menjadi tempat keberangkatan dan kepulangan mereka secara bersama sama dalam suatu perjalanan. Sedangkan kata Labid  sebelum abad 19 bisa berarti menempel, melekat, dan tidak dapat dipisahkan. Kata ini juga berarti burung yang kakinya terikat (bertengger) di bumi, hampir tidak mau terbang, kalau tidak ada yang menghalaunya.
Kata al-marah dan al-labid merupakan kata benda, marah  berarti tempat kepergian dan kepulangan suatu kaum, sedangkan labid berarti kelompok makhluk berakal atau lainnya yang tidak mau meninggalkan asalnya. Dengan demikian ungkapan marah labid dalam judul tafsir bila dihubungkan dengan kondisi dunia Islam pada abad ke 19 maka dapat dipahami bahw tafsir marah labid mencoba memberikan jalan keluar bagi masyarakat Islam yang masih kuat mempertahankan Islam tradisional.
Pada bagian awal, Syeikh Nawawi menyatakan, telah banyak orang mulia di sekitarnya yang meminta ia untuk menulis tafsir. Dalam waktu yang lama ia maju dan mundur untuk menulis tafsir, ia takut tergolong kepada orang yang dikatakan nabi dalam haditsnya bahwa siapa yang mengatakan Al-Quran dengan akalnya dan ia salah maka ia mempersiapkan tempatnya di neraka kelak
Tafsir Marah Labid ini termasuk dalam tafsir Ijmali, karena ia menggunakan penjelasan yang ringkas dan mengikuti alur kalimat AL-Quran sehingga sulit dibedakan mana yang kalimat Al-Quran mana yang tafsirnya. Namun dibeberapa tempat ia juga menjelaskan kalimat Al-Quran secara detail, layaknya tafsir Tahlily. Dan tafsir ini juga termasuk dalam kombinasi tafsir riwayah dan tafsir dirayah. Tafsir Marah Labid tidak kalah Masyhur dengan Tafsir Jalalain, karna memiliki banyak persamaan, hanya saja Tafsir Marah Labid uraianya lebih banyak dibandingkan tafsir Jalalain.
Langkah-langkah Syeikh Nawawi dalm menafsirkan Al-Quran tidak bebeda dengan mufassir pada umumnya. Yaitu:
1. Pertama, menafsirkan ayat dengan ayat. Misalnyab, pada surat AL-An’am ayat 82. Lafadz dzulm pada ayat tersebut ditafsirkan dengan syirk, sebagaimana npenjelasa pada surat Luqman ayat 13
2. Kedua, menafsirkan ayat dengan Hadits. Misalnya pada surat Al-An’am ayat 84.     "و كذالك نجزي المحسنين". Syeikh Nawawi menjelaskan pengertia ihsan berdasarkan hadits nabi, yakni “beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, maka sesungguhnya ia melihatmu”. Namun demikia dalam menyebutkan hadits Syeikh Nawawi tidak menyebutkan rangkain sanadnya, serta tidak mengemukakan kualitas haditsnya.
3. Ketiga, menafsirkan ayat dengan  pendapat sahabat dan atau tabi’in. Misalnya surat Al-Baqarah ayat 226 tentang  sumpah ila’ (bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya). Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Nawawi menafsirkan ayat tersebut dengan “jika seseorang meng-ila’ isterinya, kemudian menarik sumpahnya sebelum empat bulan, maka ia boleh menyetubuhi isterinya kembali dengan disertai membayar kaffarat, tetapi bila telah mencapai masa empat bulan, maka otomatis jatuh talak satu. Terjadinya khilaf tidak selalu dikemukakan oleh Nawawi sebagaimana contoh di atas. Namun, pada tempat lain, adanya khilaf juga ditampilkan. Misalnya ketika menafsirkan shalat al wustha. Dijelaskan bahwa sebagian berpendapat bahwa shalat al wustha adalah shalat shubuh. Pendapat ini merupakan pendapat  Ali, Umar, Ibn Abbas, Jabir, Abi Umamah al-Bahili dari kalangan sahabat, serta Thawus, ‘Atha’, Ikrimah, serta Mujahid dari kalangan Tabi’in dan merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Pendapat lain mengatakan bahwa shalat al wustha adalah shalat ‘ashar. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari  Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, serta Abu Hurairah yang menyatakan bahwa shalat al wustha adalah shalat antara shalat genap dan shalat ganjil.
4. Keempat; menggunakan pendekatan ra’yu yang didasarkan pada analisis bahasa serta kaidah-kaidahnya. Secara umum, pendekatan inilah yang digunakan Nawawi dalam tafsirnya, sehingga tafsir ini lebih tepat disebut sebagai tafsir bi al-ra’yi yang mahmud. Disebut mahmud karena ia mengkombinasikan kaidah bahasa dengan syari’at. Misalnya ketika menjelaskan makna al-Rahman pada surat Al-Fatihah ayat 3. Nawawi menafsirkannya dengan “Yang Maha Pengasih, baik kepada orang yang taat maupun yang tidak taat, yaitu memberi rizki di dunia ini”
Akhirnya, permintaan masyarakat dan para ulama tersebut ia kabulkan sembari berharap apa yang dilakukanya tersebut menjadi pertolongan baginya kelak. Tidak ada catatan yang ditemui, sejak kapan Nawawi memulai menyusun tafsir ini. Ia hanya menjelaskan, bahwa tafsir ini telah selesai ia tulis pada malam Rabu, 5 Rabi’ul Akhir 1305 H/21 Desember 1887.  Dalam penulisan tafsir Marah Labid Syeikh Nawawi mengemukakan bahwa ia banyak mengutip dari beberapa sumber seperti kitab Al-Futuhat Al-Ilahiyah, Mafatih al-Gayb, Al-Siraj al-Munir, Tanwir Al-Miqbas, dam tafsir Aby al-Su’ud

A. Filologi Tafsir
Tafsir Marah Labid yang diteliti ini diterbitkan Darul Fikr, Mesir pada tahun 1981/1401 H. jumlah volume dua jilid. Jilid 1 halamanya 511 dan jilid II halamanya 475. Setiap halamanya berukuran 3x20x28 cm. Memakai hard cover dengan isi dicetak pada kertas kekuningan.




B. Tehnik Penulisan dan Metode Tafsir Munir
1. Bahasa
Syeikh Nawawi menulis tafsirnya dengan menggunakan bahasa Arab. Penggunana bahasa Arab ini tentu merupakaan keistimewaan tersendiri karena dengan demikian ia bisa diakses oleh masyarakat internasional. Namun disisi lain, bagi masyarakat indonesia tafsir ini menjadi elitis, karena tidak semua masyarakat indonesia menguasai bahasa Arab.
2. Metode dan Tehnik Penulisan
Metode yang digunakan Syeikh Nawawi adalah metode Tahlili, yakni metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dengan meneliti semua aspeknya dan menyikap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, manasabat, dengan bantuan asbabun nuzul, riwayat dari Rasul, sahabat maupun Tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan masa nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian kebahasaan dan materi khusus lainya. Para mufassir tidak seragam dalam mengoperasionalkan dalam metode ini. Ada yang urauianya ringkas, ada juga yang sangat terperinci.
Secara tehnis, penulisan tafsir ini dimulai dengan penulisan ayat demi ayat. Penulisan ayat tidak menggunakan nomor ataupun tanda akhir ayat. Adapun pemisah antar surat ditandai dengan penulisan basmallah, kecuali antar surat al-Anfal dan at-Taubah, disertai penjelasan tentang nama surat, kelompok Makiyyah/Madaniyyah, dan jumlah ayat, kalimat, serta huruf. Pada surat-surat tertentu yang masih diperselisihkan Makiyyah dan Madaniyyahnya, Syeikh Nawawi selalu menuliskan “Makiyyah atau Madaniyyah” seperti Al-Fatihah.
3. Munasabat
Dalam tafsir ini, Syeikh Nawawi tidak banyak mengupas munasabah, bisa disebut sebagai salah satu kelemahanya. Sekalipun pada bagian tertentu ia menyinggung masalah Munasabah, tetapi sangat jarang sekali sehingga merupakan kesulitan tersendiri menemukan contohnya. Salah satu contohnya terdapat pada surat Al-Bqarah ayat 6 dan 7. Ayat tersebut menjelaskan sifat orang-orang kafir yang tidak akan beriman yaitu karena Allah telah mengunci hati, pendengaran serta pengelihatan mereka.
4. Ilmu Qiraat
Syeikh Nawawi dalam tafsrinya juga menjelaskan riwayat-riwayat dan perbedaan pendapat para imam qiraat dengan mengurai perbedaan hukum yang ditimbulkan. Salah satu contohnya yaitu terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 9. Ia menyebutkan bahwa Ashim, Ibn Amir, Hamzah, Kasai membaca fatah ya dan sukun kha’ dan fath daal pada lafaz yukhaadiuuna sementara ulama-ulama qiraat lainya dhammul ya wa fatah kha dan menggunakan mad dan kasrah daal.  Beliau juga menjelaskan rasmnya (yukhaadiuuna) dengan tanpa penggunaan alif pada dua tempat. Dalam tafsirnya masih banyak pendapat imam qiraat yang ia ulas dalam banyak ayat.
5. Sabab Nuzul
Pada ayat yang memiliki sabab nuzul, sebelum dilakukan penafsiran, disebutkan dulu sabab nuzul yang dimaksud, misalnya pada surat Ali-Imran ayat 181. Disebutkan bahwasanya ayat tersebut turun berkaitan dengan Rasulullah SAW menulis surat bersama Abu Bakar yang ditujukan kepada kaum yahudi yaitu Bani Qainuqa’ menyeru mereka untuk masuk Islam, mendirikan shalat, menunaikan zakat...... kemudian mereka mengatakan “Allah itu fakir hingga meminta kami al-qard” lalu Abu Bakar melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah SAW, maka turunlah Surat Ali-Imran ayat 181.

Komentar

  1. terimakasih, kunjungi website kami yaaa ^^
    http://mitoha-goldengamat.com/
    http://fauziaherbal.com/obat-herbal-diabetes-melitus-dan-lukanya/
    http://fauziaherbal.com/obat-herbal-radang-sendi-lutut/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Tafsir Al-Baghawi

Mengenal Penafsir Nusantara "Syaikh Abdul Halim Hasan Binjai"

Mengenal Penafsir Nusantara "Oemar Bakri"